<<SELAMAT DATANG DI BLOG DESA PEMONGKONG KECAMATAN JEROWARU KAB. LOMBOK TIMUR...BLOG INI DIBUAT UNTUK SALING BERBAGI INFORMASI>>

Kamis, 01 Juni 2017

NILAI ISLAM DALAM ACARA SORONG SERAH AJI KRAME

NILAI ISLAM DALAM ACARA SORONG SERAH AJI KRAME

Puncak acara dari serangkaian prosesi acara adat perkawinan pada masyarakat suku Sasak adalah upacara adat Sorong Serah Aji Krama. Pelaksanaan acara Sorong Serah Aji Krama ini telah disepakati pada saat pembicaraan Bait Janji. Sorong Serah Aji krama berasal dari kata Sorong Serah dan Aji Krama. Sorong Serah merupakan kata majemuk yang berarti serah terima, sedangkan Aji Krama terdiri atas kata Aji yang berarti nilai dan krama yang berarti adat atau kebiasaan. Jadi, dapat dibatasi pengertian Sorong Serah Aji Krama sebagai bentuk acara serah terima nilai adat yang telah dibiasakan.
Selain pengertian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa istilah Aji Krama berdasarkan pada kata aji dan karma. Aji dimaknakan raja atau datu, sedangkan krama berasal dari kata kraman yang bermakna sekumpulan orang-orang desa pada satu wilayah kesatuan hukum. Istilah kraman pertama kali ditemukan pada prasasti Dausa Pura Bukit Indra Kila pada tahun 864 saka (Pusat Penelitian Arkeologi Departemen P dan K).
Di samping dua pengertian di atas, istilah Aji Krama juga dimaknakan dari kata aji yang berarti bapak dan krama yang berarti adat. Pada pengertian ini, aji karma diartikan bapaknya adat. Dengan kata lain, makna acara sorong serah Aji Krama merupakan prosesi wisuda atau peresmian atas kelahiran keturunan dari sebuah perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat suku sasak menganut paham Patrialisme.
Di samping melalui beberapa bentuk pengungkapan di atas, nilai-nilai sosial dalam upacara adat Sorong Serah Aji Krama ini diungkapkan pula melalui penggambaran-penggambaran. Penggambaran-penggambaran ini diharapkan dapat dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran bagi masyarakat.
Bagi nenek moyang suku Sasak, pengungkapan nilai-nilai pilosofis dengan penggambaran-penggambaran melalui media, merupakan salah satu alternatif yang digunakan dengan pengungkapan makna yang tersirat di dalam penggambaran tersebut. Misalnya saja melalui media benda seperti : bulan, matahari, gunung,  dan sebagainya. Demikian pula dalam upacara adat Sorong Serah Aji Krama, tidak akan lepas dari bentuk pengungkapan terhadap nilai-nilai sosial dan agama yang diungkapkan melalui penggambaran-penggambaran, baik dalam bentuk benda maupun pemakaian  bahasa.
Bentuk penggambaran yang dalam upacara ini, menggunakan media benda-benda yang mengandung makna pilosofis yang sangat tinggi. Makna pilosofis dalam kelengkapan utama upacara ini yang dikemas dalam bentuk benda dengan makna yang terkandung sebagai berikut:
1.    Aji Krama
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Aji Krama merupakan nilai kebiasaan yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat sebagai bentuk penghargaan terhadap status sosial yang dimiliki. Pembagian Aji Krama pada masyarakat suku Sasak berdasarkan pembagian tingkatan kelompokmasyarakatnya. Pembagian tingkatan masyarakat ini dinamakan kasta atau dalam ilmu sosiologi dikenal dengan istilah Stratifikasi Sosial.
Di samping itu, Pembagian Aji Krama memiliki hubungan yangerat dengan masuknya agama Islam di pulau Lombok. Karena itu, besarnya Aji Krama dilakukan berdasarkan pada jumlah hitungan tasbih yang biasa digunakan, yaitu99, 66, dan 33.Pemberian Aji Krama dengan nilai seperti ini merupakan bentuk penghargaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat, sesuai dengan fungsinya di dalam masyarakat.
Seorang raja, karena memiliki fungsi dan tanggung jawab yangpaling besar jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, diberikan penghargaan tertinggi. Demikian juga para pejabat, karena mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang lebih besar jika dibandingkan dengan orang-orang biasa/rakyat biasa, diberikan penghargaan yang sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya.
Meskipun pada dasarnya manusia adalah sama, tetapi masing-masing orang atau kelompok masyarakat pastilah memiliki fungsi dan tanggung jawab berbeda dalam masyarakat.Berdasar pada pertimbangan inilah, kemudian pembagian Aji Kramadiberikan secara berbeda bagi masing-masing kelompok masyarakat tersebut.
Pada awalnya, Aji Krama dalam masyarakatsuku Sasak terbagi atas empat tingkatan Aji (Nilai), dengan urutan yang disesuaikan dengan stratifikasi sosialdalammasyarakatnya, yang meliputi:
Raden                                       =  99 (dase wisakti/satus)
Permenak                                 = 66 (sawidag sawidagsi/enem dase  enem)
Parawangse                              =  33 (katri dase katri / tigang dase tiga)
Jajar Karang                              =  10,400 (selakse samas)
Kajian nilai Islam yang dimaksud dalam perhitungan pembagian aji karma di atas adalah setiap Aji Krama akan memiliki hasil akhir sama yaitu angka 9. Dalam pandangan masyarakat suku Sasak, angka 9 merupakan nilai kemanusiaan. Sedangkan nilai 10 sebagai nilai sempurna adalah nilai yang dimiliki oleh Allah SWT. Artinya, pada dasarnya setiap manusia yang dilahirkan di atas bumi ini adalah sama,yaitu sebagai makhluk Allah yang diutus menjadi khalifah untuk mengatur kehidupan di atas dunia ini.
Akan tetapi, menurut pandangan masyarakat suku Sasak bahwa atas kehendak Allah SWT masing-masing kelompok manusia telah diberikan kemampuan yang berbeda dalam pencapaian tingkat kemanusiaannya. Sehingga, dapat dikemukakan gambaran sebagai berikut : a) pada waktu dulu, kelompok masyarakat yang memiliki Aji Krama 33 adalah kelompok masyarakat yang dalam kehidupan sehari-hari hanya mengurus kehidupan diri dan keluarganya saja dan hanya menerima segala kebijkan dan aturan pimpinan. Sehingga, dalam tataran bilangan bacaan tasbih, kelompok masyarakat ini digambarkan memiliki tingkat kemanusiaan hanya pada ucapan “Subhanallah”. b) kelompok masyarakat yang memiliki bilangan Aji Krama 66, merupakan kelompok masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan pimpinan/Raja. Mereka adalah para pemangku jabatan tertentu dalam masyarakat. Karena memiliki tugas dan fungsi dalam masyarakat, maka kelompok masyarakat seperti ini diberikan dengan Aji Krama 66 sesuai dengan bilangan tasbih kedua. Masyarakat dengan aji 66 ini digambarkan sebagai kelompok masyarakat yang dalam ucapan tasbih telah mampu mencapai tingkat kemanusiaan hingga ucapan “Subhanallah, Walhamdulillah”. dan c) kelompok masyarakat tertinggi dalam masyarakat suku sasak, digambarkan dengan Aji Krama 99. pemberian penghargaan dengan Aji Krama 99 disesuaikan dengan tingkat tugas dan fungsi seorang pimpinan/Raja. Seorang raja dan keluargaanya merupakan kelompok masyarakat yang memiliki fungsi strategi sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Mereka adalah penentu kebijakn dan peraturan yang akan menentukan nasib rakyatnya.
Demikian berat tugas dan fungsi seorang raja/pimpinan, shingga dalam bilangan bacaan tyasbih diganmbarkan sebagai kelompok masyarakat yang telah mencapai tingkat ” Subhanallah, Walhamdulillah, Allahu Akbar.
Sehubungan dengan pembagian Aji Krama di atas, dalam masyarakat suku Sasak, hanya mewarisi pembagian Aji Krama :33 dan 10.400. pembagian Aji Krama ini dimiliki oleh kelompok Parawangse yaitu 33 (katri dase katri / tigang dase tiga) dan Jajar Karang yaitu 10,400 (selakse samas).
Pembagian Aji Krama yang ada saat ini, ditentukan pemakaiannyaberdasar pada kebijakan dan alasan-alasan yang sesuai dengan kepatutan bagi masyarakat . Pembagian Aji Krama yang ada sekarang ini, semata-mata untuk menjaga kemurnian sebuah keturunan.
Aji krama terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a.    Sesirah/Otak Bebeli
Sesirah berasal dari kata Sirah yang artinya kepala. Sehingga, sesirah berfungsi melambangkan jati diri dan nilai yang melekat pada keluarga pengantin pria secara turun menurun. Sesirah biasanya ditandai dengan benda seperti emas, perak atau perunggu. Pemakain logam mulia ini akan disesuaikan dengan status sosial keluarga pengantin pria.
b.    Napak Lemah
Napak Lemah terdiri atas dua kata yaitu kata napak yang berarti kaki dan lemah yang berarti tanah. Napak Lemah bermakna menginjakkan kaki di tanah. Napak lemah merupakan simbol keberadaan manusia yang diturunkan oleh Allah di muka bumi ini sebagai khalifatul ardi. Tugas dan fungsi manuia dalam dunia sebagai khalifatul ardi ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya: dan tiada aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.
Manusia diciptakan di atas bumi ini tidak hanya untuk mencari makan untuk bertahan hidup. Karena sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki akal, manusia membutuhkan lebih dari sekedar bertahan hidup. Manusia membutuhkan kedamaian, perlindungan, penghargaan dan juga aktualisasi diri atas potensi-potensi yang dimiliki. Akan tetapi dalam melaksanakan eksistensinya sebagai khalifah, manusia diajarkan untuk selalu ingat aka asal penciptaannya yaitu tanah. Masyarkat suku Sasak juga diajarkan untuk selalu ingat kematiannya. Sehingga, tuntunan seperti ini akan menjadi pegangan bagi masyarakat suku Sasak dalam berbuat dan bertingkah laku.
Nilai pilosofis yang tertuang dalam napak lemah ini merupakan implementasi dari tujuan agama yang tertuang dalam firman Allah SWT surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya : padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus.
c.    Olen-Olen
Kata olen-olen berasal dari kata len-len atau lian-lian yang berarti lain-lain/berbeda. Olen-olen terdiri atas sejumlah kain yang yang diikat dengan selendang dan  diletakkan pada sebuah peti. Makna olen-olen ini adalah : masyarakat suku Sasak yang mendiami sebagian besar pulau Lombok ini hidup berkelompok-kelompok dan bertingkat-tingkat. Akan tetapi, mereka tetap berada dalam satu kesatuan dengan ikatan kekeluargaan sebagai masyarakat suku Sasak yang Islam.
Pola pandangan kekeluargaan seperti ini sanghat sesuai dengan nilai Islami yang dikemukakan dalam Al-Qur’an yang artinya :  Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu  berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu dapat saling kenal mengenal (Al-Hujurat : 13).
Konsep pandangan masyarakat budaya suku Sasak inipun diilhami oleh hadist Rasulullah SAW yang artinya : bahwasanya antara satu muslimin dengan muslim yang lainnya adalah bersaudara. Hubungan yang sangat erat antara pelaksanaan hukum Islam dalam konsep budaya masyrakat suku Sasak merupakan perwujudan implementasi konsep Islam dam budaya tradisional kita. 
2.     Arta Gegawan
Selain Aji Krama, dalam pelaksanaan acara sorong Serah Aji Krama haruslah dilengkapi dengan benda-benda yang disebut Arte Gegawan. Arte Gegawan memiliki makna barang-barang bawaan. Arte Gegawan merupakan symbol yang mengandung pilosofis yang sangat tinggi. Arte Gegawan terdiri atas:
a.    Salin Dede
Istilah Salin Dede berasal dari kata Salin dan dede. Kata salin memiliki arti mengganti sedangkan kata dede berarti mangasuh. Sehingga salin dede memiliki pengertian mengganti untuk mengasuh. Adapun wujud dari salin dede ini adalah kain umbaq, ponjol, ceraken, kedogan (sabuk nganak), semprong tereng,kain putih, benang kataq dan pisau kecil untuk hitanan. Makna utama yang diwakili oleh Salin Dede dalam kegiatan upacara adat Sorong Serah Aji Krama adalah serah terima tanggung jawab dari pihak keluarga pengantin wanita kepada suaminya. Jika selama hidup sejak lahir hingga saat menikah, seorang gadis merupakan tanggung jawab pembinaan ortang tuanya, maka setelah menikah seorang wanita akan menjadi tanggung jawab suaminya. Konsep pola piker seperti ini merupakan pengejawantahan dari konsep Islami. Kita memahami bahwa konsep Islam telah mengajarkan,  “Apabila seorang perempuan telah menikah, maka nafkahnya wajib ditanggung oleh suaminya” (Rasjid, 2000:375).
b.    Pemecat Sengkang
Wujud benda yang digunakan untuk pemecat Sengkang adalah anting emas yang diletakkan pada sebuah nampan kecil. Karena bagi masyarakat suku Sasak, seorang wanita yang sudah kawin tidak lagi boleh menggunakan anting sebagai perhiasan.
c.    Penjaruman
Selain benda-benda di atas, dalam upacara adapt Sorong serah Aji Krama terdapat sebuah benda berupa jarum dan benang. Benda ini dinamakan penjaruman.
d.    Pelengkak
Pelengkaq merupakan denda yang dikenakan kepada pihak pengantin laki-laki yang berani mengawini seorang gadis yang masih memiliki kakak belum kawin.
e.    Babas Kuta
Babas Kuta atau Pembabas Kute merupakan denda yang diwajibkan untuk dibayarkan oleh pihak pengantin laki-laki karena kehadiran mereka padfa acara Sorong serah Sji Krama dan Nyongkolan menimbulkan kegaduhan dan keramaian.
f.     Krama Desa
Karma desa adalah salah satu kewajiban yang harus ditanggung oleh pihak pengantin laki-laki sehubungan dengan telah membawa seorang gadis dari sebuah desa untuk dijadikan istrinya.
g.    Kor Jiwa
Seperti halnya krama desa, Kor Jiwa juga merupakan salah satu kewajiban yang harus dibayarkan oleh pihak keluarga pengantin laki-laki sebagai bentuk ganti rugi kepada kampong yang telah kehilangan warga sebab sebuah perkawinan.
h.    Pecanangan/Penginang/Karas
Pecanangan merupakan tempat diletakkannya kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau. Di samping itu, makanan bagi masyarakat suku Sasak merupakan sarana pembinaan solidaritas kelompok masyarakat yang paling menonjol. Sahabat, kenalan ataupun setiap orang yang datang bertamu, selalu dijamu dengan pecanangan. Sikap dan pola tingkah laku yang demikian itu dibentuk oleh pandangan hidup dan sistem nilai dalam masyarakat yang berazaskan persaudaraan dan kebersamaan. 
i.      Lanjaran
Dalam acara adat pada masyarakat suku Sasak, Lanjaran/rokok merupakan perlengkapan adat yang harus tetap ada.  Biasanya, rokok yang digunakan dalam acara adat adalah rokok yang terbuat dari tembakau dilapisi dengan daun jagung. (Berbagai Sumber).