NILAI ISLAM DALAM ACARA SORONG SERAH
AJI KRAME
Puncak acara dari serangkaian prosesi acara adat perkawinan pada masyarakat suku Sasak adalah upacara adat Sorong Serah Aji Krama. Pelaksanaan acara Sorong Serah Aji Krama ini telah disepakati pada saat pembicaraan Bait Janji. Sorong Serah Aji krama berasal dari kata Sorong Serah dan Aji Krama. Sorong Serah merupakan kata majemuk yang berarti serah terima, sedangkan Aji Krama terdiri atas kata Aji yang berarti nilai dan krama yang berarti adat atau kebiasaan. Jadi, dapat dibatasi pengertian Sorong Serah Aji Krama sebagai bentuk acara serah terima nilai adat yang telah dibiasakan.
Selain
pengertian di atas, ada juga yang berpendapat bahwa istilah Aji Krama
berdasarkan pada kata aji dan karma. Aji dimaknakan raja atau datu, sedangkan
krama berasal dari kata kraman yang bermakna sekumpulan orang-orang desa pada
satu wilayah kesatuan hukum. Istilah kraman pertama kali ditemukan pada
prasasti Dausa Pura Bukit Indra Kila pada tahun 864 saka (Pusat Penelitian
Arkeologi Departemen P dan K).
Di samping
dua pengertian di atas, istilah Aji Krama juga dimaknakan dari kata aji yang
berarti bapak dan krama yang berarti adat. Pada pengertian ini, aji karma
diartikan bapaknya adat. Dengan kata lain, makna acara sorong serah Aji Krama
merupakan prosesi wisuda atau peresmian atas kelahiran keturunan dari sebuah
perkawinan. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat suku sasak menganut paham
Patrialisme.
Di samping
melalui beberapa bentuk pengungkapan di atas, nilai-nilai sosial dalam upacara
adat Sorong Serah Aji Krama ini diungkapkan pula melalui
penggambaran-penggambaran. Penggambaran-penggambaran ini diharapkan dapat
dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran bagi masyarakat.
Bagi nenek
moyang suku Sasak, pengungkapan nilai-nilai pilosofis dengan
penggambaran-penggambaran melalui media, merupakan salah satu alternatif yang
digunakan dengan pengungkapan makna yang tersirat di dalam penggambaran
tersebut. Misalnya saja melalui media benda seperti : bulan, matahari,
gunung, dan sebagainya. Demikian pula dalam upacara adat Sorong Serah Aji
Krama, tidak akan lepas dari bentuk pengungkapan terhadap nilai-nilai sosial
dan agama yang diungkapkan melalui penggambaran-penggambaran, baik dalam bentuk
benda maupun pemakaian bahasa.
Bentuk
penggambaran yang dalam upacara ini, menggunakan media benda-benda yang
mengandung makna pilosofis yang sangat tinggi. Makna pilosofis dalam
kelengkapan utama upacara ini yang dikemas dalam bentuk benda dengan makna yang
terkandung sebagai berikut:
1. Aji Krama
Sebagaimana
telah dikemukakan bahwa Aji Krama merupakan nilai kebiasaan yang diberikan
kepada kelompok-kelompok masyarakat sebagai bentuk penghargaan terhadap status
sosial yang dimiliki. Pembagian Aji Krama pada masyarakat suku Sasak
berdasarkan pembagian tingkatan kelompokmasyarakatnya. Pembagian tingkatan
masyarakat ini dinamakan kasta atau dalam ilmu sosiologi dikenal dengan istilah
Stratifikasi Sosial.
Di
samping itu, Pembagian Aji Krama memiliki hubungan yangerat dengan masuknya
agama Islam di pulau Lombok. Karena itu, besarnya Aji Krama dilakukan
berdasarkan pada jumlah hitungan tasbih yang biasa digunakan, yaitu99, 66, dan
33.Pemberian Aji Krama dengan nilai seperti ini merupakan bentuk penghargaan
terhadap kelompok-kelompok masyarakat, sesuai dengan fungsinya di dalam
masyarakat.
Seorang
raja, karena memiliki fungsi dan tanggung jawab yangpaling besar jika
dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya, diberikan penghargaan
tertinggi. Demikian juga para pejabat, karena mempunyai fungsi dan tanggung
jawab yang lebih besar jika dibandingkan dengan orang-orang biasa/rakyat biasa,
diberikan penghargaan yang sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya.
Meskipun
pada dasarnya manusia adalah sama, tetapi masing-masing orang atau kelompok
masyarakat pastilah memiliki fungsi dan tanggung jawab berbeda dalam
masyarakat.Berdasar pada pertimbangan inilah, kemudian pembagian Aji
Kramadiberikan secara berbeda bagi masing-masing kelompok masyarakat tersebut.
Pada
awalnya, Aji Krama dalam masyarakatsuku Sasak terbagi atas empat tingkatan Aji
(Nilai), dengan urutan yang disesuaikan dengan stratifikasi
sosialdalammasyarakatnya, yang meliputi:
Raden
= 99 (dase wisakti/satus)
Permenak
=
66 (sawidag sawidagsi/enem dase enem)
Parawangse
= 33 (katri dase katri / tigang dase tiga)
Jajar
Karang
= 10,400 (selakse samas)
Kajian
nilai Islam yang dimaksud dalam perhitungan pembagian aji karma di atas adalah
setiap Aji Krama akan memiliki hasil akhir sama yaitu angka 9. Dalam pandangan
masyarakat suku Sasak, angka 9 merupakan nilai kemanusiaan. Sedangkan nilai 10
sebagai nilai sempurna adalah nilai yang dimiliki oleh Allah SWT. Artinya, pada
dasarnya setiap manusia yang dilahirkan di atas bumi ini adalah sama,yaitu
sebagai makhluk Allah yang diutus menjadi khalifah untuk mengatur kehidupan di
atas dunia ini.
Akan
tetapi, menurut pandangan masyarakat suku Sasak bahwa atas kehendak Allah SWT
masing-masing kelompok manusia telah diberikan kemampuan yang berbeda dalam
pencapaian tingkat kemanusiaannya. Sehingga, dapat dikemukakan gambaran sebagai
berikut : a) pada waktu dulu, kelompok masyarakat yang memiliki Aji Krama 33
adalah kelompok masyarakat yang dalam kehidupan sehari-hari hanya mengurus
kehidupan diri dan keluarganya saja dan hanya menerima segala kebijkan dan
aturan pimpinan. Sehingga, dalam tataran bilangan bacaan tasbih, kelompok
masyarakat ini digambarkan memiliki tingkat kemanusiaan hanya pada ucapan
“Subhanallah”. b) kelompok masyarakat yang memiliki bilangan Aji Krama 66,
merupakan kelompok masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pelaksana kebijakan
pimpinan/Raja. Mereka adalah para pemangku jabatan tertentu dalam masyarakat.
Karena memiliki tugas dan fungsi dalam masyarakat, maka kelompok masyarakat
seperti ini diberikan dengan Aji Krama 66 sesuai dengan bilangan tasbih kedua.
Masyarakat dengan aji 66 ini digambarkan sebagai kelompok masyarakat yang dalam
ucapan tasbih telah mampu mencapai tingkat kemanusiaan hingga ucapan
“Subhanallah, Walhamdulillah”. dan c) kelompok masyarakat tertinggi dalam
masyarakat suku sasak, digambarkan dengan Aji Krama 99. pemberian penghargaan
dengan Aji Krama 99 disesuaikan dengan tingkat tugas dan fungsi seorang
pimpinan/Raja. Seorang raja dan keluargaanya merupakan kelompok masyarakat yang
memiliki fungsi strategi sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Mereka
adalah penentu kebijakn dan peraturan yang akan menentukan nasib rakyatnya.
Demikian
berat tugas dan fungsi seorang raja/pimpinan, shingga dalam bilangan bacaan
tyasbih diganmbarkan sebagai kelompok masyarakat yang telah mencapai tingkat ”
Subhanallah, Walhamdulillah, Allahu Akbar.
Sehubungan
dengan pembagian Aji Krama di atas, dalam masyarakat suku Sasak, hanya mewarisi
pembagian Aji Krama :33 dan 10.400. pembagian Aji Krama ini dimiliki oleh
kelompok Parawangse yaitu 33 (katri dase katri / tigang dase tiga) dan Jajar
Karang yaitu 10,400 (selakse samas).
Pembagian
Aji Krama yang ada saat ini, ditentukan pemakaiannyaberdasar pada kebijakan dan
alasan-alasan yang sesuai dengan kepatutan bagi masyarakat . Pembagian Aji
Krama yang ada sekarang ini, semata-mata untuk menjaga kemurnian sebuah
keturunan.
Aji
krama terdiri atas tiga bagian, yaitu :
a. Sesirah/Otak Bebeli
Sesirah
berasal dari kata Sirah yang artinya kepala. Sehingga, sesirah berfungsi
melambangkan jati diri dan nilai yang melekat pada keluarga pengantin pria
secara turun menurun. Sesirah biasanya ditandai dengan benda seperti emas,
perak atau perunggu. Pemakain logam mulia ini akan disesuaikan dengan status
sosial keluarga pengantin pria.
b. Napak Lemah
Napak
Lemah terdiri atas dua kata yaitu kata napak yang berarti kaki dan lemah yang
berarti tanah. Napak Lemah bermakna menginjakkan kaki di tanah. Napak lemah
merupakan simbol keberadaan manusia yang diturunkan oleh Allah di muka bumi ini
sebagai khalifatul ardi. Tugas dan fungsi manuia dalam dunia sebagai khalifatul
ardi ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an yang artinya: dan tiada aku
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.
Manusia
diciptakan di atas bumi ini tidak hanya untuk mencari makan untuk bertahan
hidup. Karena sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki akal, manusia
membutuhkan lebih dari sekedar bertahan hidup. Manusia membutuhkan kedamaian,
perlindungan, penghargaan dan juga aktualisasi diri atas potensi-potensi yang
dimiliki. Akan tetapi dalam melaksanakan eksistensinya sebagai khalifah,
manusia diajarkan untuk selalu ingat aka asal penciptaannya yaitu tanah.
Masyarkat suku Sasak juga diajarkan untuk selalu ingat kematiannya. Sehingga,
tuntunan seperti ini akan menjadi pegangan bagi masyarakat suku Sasak dalam
berbuat dan bertingkah laku.
Nilai
pilosofis yang tertuang dalam napak lemah ini merupakan implementasi dari
tujuan agama yang tertuang dalam firman Allah SWT surat Al-Bayyinah ayat 5 yang
artinya : padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah kepada Allah dengan
memurnikan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama dengan lurus.
c. Olen-Olen
Kata
olen-olen berasal dari kata len-len atau lian-lian yang berarti
lain-lain/berbeda. Olen-olen terdiri atas sejumlah kain yang yang diikat dengan
selendang dan diletakkan pada sebuah peti. Makna olen-olen ini adalah :
masyarakat suku Sasak yang mendiami sebagian besar pulau Lombok ini hidup
berkelompok-kelompok dan bertingkat-tingkat. Akan tetapi, mereka tetap berada
dalam satu kesatuan dengan ikatan kekeluargaan sebagai masyarakat suku Sasak
yang Islam.
Pola
pandangan kekeluargaan seperti ini sanghat sesuai dengan nilai Islami yang
dikemukakan dalam Al-Qur’an yang artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami
telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu dapat
saling kenal mengenal (Al-Hujurat : 13).
Konsep
pandangan masyarakat budaya suku Sasak inipun diilhami oleh hadist Rasulullah
SAW yang artinya : bahwasanya antara satu muslimin dengan muslim yang lainnya
adalah bersaudara. Hubungan yang sangat erat antara pelaksanaan hukum Islam
dalam konsep budaya masyrakat suku Sasak merupakan perwujudan implementasi
konsep Islam dam budaya tradisional kita.
2. Arta Gegawan
Selain Aji Krama,
dalam pelaksanaan acara sorong Serah Aji Krama haruslah dilengkapi dengan
benda-benda yang disebut Arte Gegawan. Arte Gegawan memiliki makna
barang-barang bawaan. Arte Gegawan merupakan symbol yang mengandung pilosofis
yang sangat tinggi. Arte Gegawan terdiri atas:
a.
Salin Dede
Istilah
Salin Dede berasal dari kata Salin dan dede. Kata salin memiliki arti mengganti
sedangkan kata dede berarti mangasuh. Sehingga salin dede memiliki pengertian
mengganti untuk mengasuh. Adapun wujud dari salin dede ini adalah kain umbaq,
ponjol, ceraken, kedogan (sabuk nganak), semprong tereng,kain putih, benang
kataq dan pisau kecil untuk hitanan. Makna utama yang diwakili oleh Salin Dede
dalam kegiatan upacara adat Sorong Serah Aji Krama adalah serah terima tanggung
jawab dari pihak keluarga pengantin wanita kepada suaminya. Jika selama hidup
sejak lahir hingga saat menikah, seorang gadis merupakan tanggung jawab
pembinaan ortang tuanya, maka setelah menikah seorang wanita akan menjadi
tanggung jawab suaminya. Konsep pola piker seperti ini merupakan
pengejawantahan dari konsep Islami. Kita memahami bahwa konsep Islam telah
mengajarkan, “Apabila seorang perempuan telah menikah, maka nafkahnya
wajib ditanggung oleh suaminya” (Rasjid, 2000:375).
b.
Pemecat Sengkang
Wujud
benda yang digunakan untuk pemecat Sengkang adalah anting emas yang diletakkan
pada sebuah nampan kecil. Karena bagi masyarakat suku Sasak, seorang wanita
yang sudah kawin tidak lagi boleh menggunakan anting sebagai perhiasan.
c.
Penjaruman
Selain
benda-benda di atas, dalam upacara adapt Sorong serah Aji Krama terdapat sebuah
benda berupa jarum dan benang. Benda ini dinamakan penjaruman.
d.
Pelengkak
Pelengkaq
merupakan denda yang dikenakan kepada pihak pengantin laki-laki yang berani
mengawini seorang gadis yang masih memiliki kakak belum kawin.
e.
Babas Kuta
Babas
Kuta atau Pembabas Kute merupakan denda yang diwajibkan untuk dibayarkan oleh
pihak pengantin laki-laki karena kehadiran mereka padfa acara Sorong serah Sji
Krama dan Nyongkolan menimbulkan kegaduhan dan keramaian.
f.
Krama Desa
Karma
desa adalah salah satu kewajiban yang harus ditanggung oleh pihak pengantin
laki-laki sehubungan dengan telah membawa seorang gadis dari sebuah desa untuk
dijadikan istrinya.
g.
Kor Jiwa
Seperti
halnya krama desa, Kor Jiwa juga merupakan salah satu kewajiban yang harus
dibayarkan oleh pihak keluarga pengantin laki-laki sebagai bentuk ganti rugi
kepada kampong yang telah kehilangan warga sebab sebuah perkawinan.
h.
Pecanangan/Penginang/Karas
Pecanangan
merupakan tempat diletakkannya kapur, sirih, pinang, gambir dan tembakau. Di
samping itu, makanan bagi masyarakat suku Sasak merupakan sarana pembinaan
solidaritas kelompok masyarakat yang paling menonjol. Sahabat, kenalan ataupun
setiap orang yang datang bertamu, selalu dijamu dengan pecanangan. Sikap dan
pola tingkah laku yang demikian itu dibentuk oleh pandangan hidup dan sistem
nilai dalam masyarakat yang berazaskan persaudaraan dan kebersamaan.
i.
Lanjaran
Dalam
acara adat pada masyarakat suku Sasak, Lanjaran/rokok merupakan perlengkapan
adat yang harus tetap ada. Biasanya, rokok yang digunakan dalam acara
adat adalah rokok yang terbuat dari tembakau dilapisi dengan daun jagung. (Berbagai Sumber).