<<SELAMAT DATANG DI BLOG DESA PEMONGKONG KECAMATAN JEROWARU KAB. LOMBOK TIMUR...BLOG INI DIBUAT UNTUK SALING BERBAGI INFORMASI>>

Sabtu, 03 Juni 2017

PERAN PEMBAYUN DALAM UPACARA SORONG SERAH

PERAN PEMBAYUN DALAM UPACARA SORONG SERAH


Foto: Pembayunan
Sumber: Adat Sasaq

Kata pembayun berasal dari kata pemban dan ayun, berarti pengajeng. Dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti pemuka. Pembayun dalam upacara sorong serah dalam perkawinan Suku Sasak, bertugas sebagai pemimpin rombongan yang membawa karte brane yang akan diserahkan kepada pihak perempuan, yaitu pihak keluarga mempelai perempuan. Rombongan ini terdiri dari 20-30 orang.  Tugas seorang Pembayun, tidak sekedar menyerahkan harta yang merupakan gegawan atau bawaan, namun lebih dari itu, dia merupakan orang yang bertanggung jawab atas suksesnya atau berhasilnya penyelesaian upacara adat dalam perkawinan antara kedua keluarga mempelai.
Seorang Pembayun, bertindak sebagai utusan atau duta yang berkuasa penuh untuk mewakili keluarga mempelai lelaki, yang menghadap kepada keluarga pihak mempelai perempuan. Seorang Pembayun menyampaikan amanat suci penyelesaian pelaksanaan adat istiadat, tata cara dan tata tertib dalam perkawinan. Dia bertindak atas nama sang andoweang sane krane (yang punya kerja/gawe), bahkan juga atas nama sang ambawa rat (pihak kepala desa sebagai pemerintah desanya).
Oleh karena itu, tugas seorang Pembayun merupakan tugas jabatan (profesi) yang harus mengetahui dan mengerti beberapa hal seperti;
·    Menguasai adat istiadat Sasak dengan segala macam tata caranya.
·    Menguasai dan mengetahui bahasa yang digunakan dalam upacara sorong serah.
·    Menguasai berbagai macam seni tembang.
·    Menjaga ketertiban dalam rombongannya sendiri.
·    Bertanggung jawab atas keberhasilan tugas yang diemban.

Karena tugas Pembayun merupakan tugas profesi tertentu, dalamupacara penyelesaian adat perkawinan, tidaklah sembarang orangdapat ditugaskan sebagai wakil mutlak dari pihakkeluarga, kecuali orang yang sudah matang daslam menguasai kelima hal tersebut di atas.
Banyak sekali terjadi dalam perjalanan seorang Pembayun, yanghanya menghafalkan satu parigan (wewacan) yang didapat dari pembayun lain, dengan kurang dimengerti akan kalimat dan kata-kata yang diucapkan,lalu untukmenutupi diri sendiri dari ketidaktahuan, lalu memperbanyak kata yang lucu-lucu, Ini sebenafrnya menyimpang dari tugas yang senarnya.
Bahwa tugas seorang Pembayun adalah, mengemban tugas suci, sebagai wakil mutlak dari orang tua mempelai, yang akan menyelesaikan dan mempertautkan bukan saja keluarga dari kedua mempelai, namun untuk pertautan keluarga mempelai menjadi keluarga besar.
Dalam menguasai adat istiadat, suku Sasak di dalam upacara perkawinan, berpokok pangkal dari beberapa tingkatan pelaksanaan antara lain:
1. Merariq
2. Sejati selabar
3. Mengambil wali (untuk akad nikah)
4. Mengambil janji (musyawarah tentang penyelesaian)
5. Mengantar gantiran atau pisuka
6. Pelaksanaan upacara aji krama atau sorong serah yang disusul dengan upacara nyongkolan
7. Balik Lampak

Dari urutan upacara tersebut, yang terpenting adalah, upacara sorong serah, karena upacara ini merupakan upacara penentu akan sukses atau tidaknya seorang Pembayun melaksanakan tugasnya. Namun tidak berarti bahwa, hal-hal yang lainnya tidak perlu diketahui, bahkan sedapat mungkin, seluruh proses dari setiap perkawinan, yang nantinya diemban oleh seorang Pembayun.
Perlu diketahui dan dikuasai sebagai pengethuan, karena di dalam perkawinan itu, mungkin timbul hal-hal yang dapat menyebabkan timbulmnya gugatan denda, misalnya kasus merariq dengan melangkahi (mendahului) kakaknya, yang dapat menimbulkan denda yang disebut pelengkak. Juga mengani adat desa yang satu dengan yang lainnya memiliki perbedaan, meskipun sumbernya sama. Sebagaimana yang selalu disebut dalam wewacan, lain desa lain adat, atau lain Cucuk lain Jajak, yang berarti lain gubuk lain adat.
Seorang pembayun dalam melaksanakan tugasnya, harus menguasai tata bahasa yang digunakan. Dalam upacara sorong serah, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang lazim yaitu bahasa Kawi bercampur dengan bahasa Bali dan bahasa Sasak. Oleh masyarakat, terutama kaum muda banyak yang tidak mengerti akan bahasa yang digunakan oleh sang Pembayun. Oleh karena itu,ada pendapat bahwa, bahasa yang digunakan dalam upacara itu perlu diganti dengan bahasa Sasak asli.
Terkait dengan pendapat itu, bahasa yang digunakan oleh Pembayun, sebagian dari bahasa Kawi dan bercampur dengan bahasa Sasak dan Bali, namun bahasa ini sudah merupakan kekayaan bahasa Sasak. Sama halnya dengan masuknya bahasa asing (Belanda dan Inggris) dalam bahasa Indonesia, lama-lama akan menjadi bahasa baku Indonesia. Demikian pula dengan bahasa Kawi, sudah masuk menjadi bahasa Sasak yang merupakan kekayaan bahasa Sasak dan sudah lazin digunakan menjadi bahasa persatuan, bahasa dalam upacara sorong serah, yang tentunya sudah dipelajari oleh para Pembayun.
Untuk dimaklumi bahwa, bahasa Sasak di Pulau Lombok, menurut para ahli terjadi dari 4 rumpun bahasa, yaitu rumpun ngeno-ngene, menu-meni yang berada dalam pertengahan Pulau Lombok. Sedangkan dua rumpun lagi, meriaq-meriku yang berada di bagian selatan dan rumpun nggeto-gete yang berada dibagian utara pulau Lombok.
Bisa dibayangkan, jika rumpun yang menggunakan nggeto-gete bertemu dalam upacara sorong serah, satu sama lain dengan menggunakan bahasa meriaq-meriku dengan bahasa rumpun nggeto-gete yang sama-sama saling tidak mengerti, maka kelancaran upacara akan sangat terganggu. Demikian pula dengan bahasa rumpun yang lain. Jika rumpun bahasa ngeno-ngene betemu dengan bahasa rumpun meno-meni masih dapat saling mengerti. Oleh karena itu, dapat dipahami, dalam pelaksanaan upacara sorong serah, kita dapat menggunakan bahasa persatuan, yaitu Bahasa Kawi Jawa yang bercampur dengan bahasa Bali dan Sasak.
Memang, jika ingin melestarikan adat sorong serah itu, maka tidak hanya bahasanya yang harus dipelajari, bahkan segala tata cara yang baik itu perlu dipelajari terutama oleh Pembayun. Untuk menggantikan sepenuhnya dengan Bahasa Sasak, juga perlu dipelajari tentang tata bahasanya, karena bahasa Sasak yang digunakan sekarang, apakah merupakan percakapan sehari-hari atau bahasa yang digunakan bagi kalangan elite sudah tidak murni lagi, dengan kata lain sudah banyak bercampur dengan kata-kata dari luar (kata Indonesia).
Mengetahui dan menguasai ragam seni tembang dalam upacara sorong serah, seni tembang sangat banyak digunakan, karena menilai keterampilan seorang Pembayun, diantaranya melalui seni tembang yang didendangkan, juga dapat mempengaruhi para hadirin yang mendengarnya.
Seorang Pembayun, harus mengetahui bahwa, banyak hadirin yang juga menguasai bermacam-macam tembang. Oleh karena itu, seorang Pembayun agar benar-benar menguasai beberpa macam tembang. Namun satu hal yang harus dijaga, jangan satu tembang dicampur aduk dengan tembang yang lain. Misalnya, tembang Sinom, lalu ditengahnya dicampur dengan dang dang. Hal ini yang akan membuat tertawaan orang yang mendengarnya.
Yang sering sekali digunakan oleh para Pembayun dalam mengutarakan maksudnya pada upacara sorong serah adalah tembang Sinom, Asmarandana, Dangdang gendis, Pangkur, Durme, Kinanti, Maskumambang dll.
Seorang Pembayun, tidak saja dituntut untuk memelihara tata tertib ke luar, tetapi juga tata tertib ke dalam rombongannya sendiri agar terlihat rapi dan sangat berpengaruh bagi orang yang menerimanya. Sebagaimana dimaklumi bahwa, rombongan sorong serah terdiri dari 20-30 orang. Pembayun memimpin rombongan dengan didampingi seorang atau dua orang pendamping sebagai penasihat sewaktu-waktu dapat dimintai nasihat oleh Pembayun.
Untuk Pembayun dan pendampingnya, sedapat mungkin mengenakan pakaian adat dan dilengkapi dengan keris di belakangnya, yang dapat mempengaruhi pandangan para hadirin dan penerimanya. Sedangkan bagi para pengikut yang membawa gegawan, supaya mengenakan pakaian yang rapi pula, lengkap dengan dodot dan leang. Tidak perlu mahal, tapi kelihatan bersih dan teratur dengan kelengkapan ikat kepala (sapuq), baju kemeja, kain sarung panjang dan ber-dodot. (Lalu Pangkat Ali) -01