PERAN PEMBAYUN DALAM UPACARA SORONG SERAH
Foto: Pembayunan
Sumber: Adat Sasaq
Kata pembayun berasal dari kata pemban dan ayun, berarti pengajeng. Dalam
bahasa Indonesia kira-kira berarti pemuka. Pembayun
dalam upacara sorong serah dalam
perkawinan Suku Sasak, bertugas sebagai pemimpin rombongan yang membawa karte
brane yang akan diserahkan kepada pihak perempuan, yaitu
pihak keluarga mempelai perempuan. Rombongan ini terdiri dari 20-30 orang. Tugas seorang Pembayun, tidak sekedar
menyerahkan harta yang merupakan gegawan atau bawaan,
namun lebih dari itu, dia merupakan orang yang bertanggung jawab atas suksesnya
atau berhasilnya penyelesaian upacara adat dalam perkawinan antara kedua
keluarga mempelai.
Seorang Pembayun, bertindak sebagai utusan atau duta yang berkuasa penuh
untuk mewakili keluarga mempelai lelaki, yang menghadap kepada keluarga pihak
mempelai perempuan. Seorang Pembayun menyampaikan amanat suci penyelesaian
pelaksanaan adat istiadat, tata cara dan tata tertib dalam perkawinan. Dia
bertindak atas nama sang andoweang sane krane (yang punya
kerja/gawe), bahkan juga atas nama sang ambawa rat (pihak
kepala desa sebagai pemerintah desanya).
Oleh karena itu, tugas seorang
Pembayun merupakan tugas jabatan (profesi) yang harus mengetahui dan mengerti
beberapa hal seperti;
· Menguasai adat istiadat Sasak dengan
segala macam tata caranya.
· Menguasai dan mengetahui bahasa yang
digunakan dalam upacara sorong serah.
· Menguasai berbagai macam seni
tembang.
· Menjaga ketertiban dalam rombongannya
sendiri.
· Bertanggung jawab atas keberhasilan
tugas yang diemban.
Karena tugas Pembayun merupakan
tugas profesi tertentu, dalamupacara penyelesaian adat perkawinan, tidaklah
sembarang orangdapat ditugaskan sebagai wakil mutlak dari pihakkeluarga,
kecuali orang yang sudah matang daslam menguasai kelima hal tersebut di atas.
Banyak sekali terjadi dalam
perjalanan seorang Pembayun, yanghanya menghafalkan satu parigan (wewacan) yang
didapat dari pembayun lain, dengan kurang dimengerti akan kalimat dan kata-kata
yang diucapkan,lalu untukmenutupi diri sendiri dari ketidaktahuan, lalu
memperbanyak kata yang lucu-lucu, Ini sebenafrnya menyimpang dari tugas yang
senarnya.
Bahwa tugas seorang Pembayun adalah,
mengemban tugas suci, sebagai wakil mutlak dari orang tua mempelai, yang akan
menyelesaikan dan mempertautkan bukan saja keluarga dari kedua mempelai, namun
untuk pertautan keluarga mempelai menjadi keluarga besar.
Dalam menguasai adat istiadat, suku
Sasak di dalam upacara perkawinan, berpokok pangkal dari beberapa tingkatan
pelaksanaan antara lain:
1.
Merariq
2.
Sejati
selabar
3.
Mengambil
wali (untuk akad nikah)
4.
Mengambil
janji (musyawarah tentang penyelesaian)
5.
Mengantar
gantiran atau pisuka
6.
Pelaksanaan
upacara aji krama atau sorong serah yang
disusul dengan upacara nyongkolan
7.
Balik Lampak
Dari urutan upacara tersebut, yang
terpenting adalah, upacara sorong serah, karena upacara ini merupakan upacara
penentu akan sukses atau tidaknya seorang Pembayun melaksanakan tugasnya. Namun
tidak berarti bahwa, hal-hal yang lainnya tidak perlu diketahui, bahkan sedapat
mungkin, seluruh proses dari setiap perkawinan, yang nantinya diemban oleh
seorang Pembayun.
Perlu diketahui dan dikuasai sebagai pengethuan, karena di dalam perkawinan
itu, mungkin timbul hal-hal yang dapat menyebabkan timbulmnya gugatan denda,
misalnya kasus merariq dengan melangkahi (mendahului) kakaknya, yang dapat
menimbulkan denda yang disebut pelengkak. Juga mengani adat desa yang satu
dengan yang lainnya memiliki perbedaan, meskipun sumbernya sama. Sebagaimana
yang selalu disebut dalam wewacan, lain desa lain adat, atau lain Cucuk lain
Jajak, yang berarti lain gubuk lain adat.
Seorang pembayun dalam melaksanakan
tugasnya, harus menguasai tata bahasa yang digunakan. Dalam upacara sorong
serah, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang lazim yaitu bahasa Kawi
bercampur dengan bahasa Bali dan bahasa Sasak. Oleh masyarakat, terutama kaum
muda banyak yang tidak mengerti akan bahasa yang digunakan oleh sang Pembayun.
Oleh karena itu,ada pendapat bahwa, bahasa yang digunakan dalam upacara itu
perlu diganti dengan bahasa Sasak asli.
Terkait dengan pendapat itu, bahasa
yang digunakan oleh Pembayun, sebagian dari bahasa Kawi dan bercampur dengan
bahasa Sasak dan Bali, namun bahasa ini sudah merupakan kekayaan bahasa Sasak.
Sama halnya dengan masuknya bahasa asing (Belanda dan Inggris) dalam bahasa
Indonesia, lama-lama akan menjadi bahasa baku Indonesia. Demikian pula dengan
bahasa Kawi, sudah masuk menjadi bahasa Sasak yang merupakan kekayaan bahasa
Sasak dan sudah lazin digunakan menjadi bahasa persatuan, bahasa dalam upacara
sorong serah, yang tentunya sudah dipelajari oleh para Pembayun.
Untuk dimaklumi bahwa, bahasa Sasak di Pulau Lombok, menurut para ahli
terjadi dari 4 rumpun bahasa, yaitu rumpun ngeno-ngene, menu-meni yang berada
dalam pertengahan Pulau Lombok. Sedangkan dua rumpun lagi, meriaq-meriku yang berada
di bagian selatan dan rumpun nggeto-gete yang berada
dibagian utara pulau Lombok.
Bisa dibayangkan, jika rumpun yang menggunakan nggeto-gete bertemu
dalam upacara sorong serah, satu sama lain dengan menggunakan bahasa meriaq-meriku dengan
bahasa rumpun nggeto-gete yang
sama-sama saling tidak mengerti, maka kelancaran upacara akan sangat terganggu.
Demikian pula dengan bahasa rumpun yang lain. Jika rumpun bahasa ngeno-ngene betemu
dengan bahasa rumpun meno-meni masih dapat
saling mengerti. Oleh karena itu, dapat dipahami, dalam pelaksanaan upacara
sorong serah, kita dapat menggunakan bahasa persatuan, yaitu Bahasa Kawi Jawa
yang bercampur dengan bahasa Bali dan Sasak.
Memang, jika ingin melestarikan adat sorong serah itu, maka
tidak hanya bahasanya yang harus dipelajari, bahkan segala tata cara yang baik
itu perlu dipelajari terutama oleh Pembayun. Untuk menggantikan sepenuhnya
dengan Bahasa Sasak, juga perlu dipelajari tentang tata bahasanya, karena
bahasa Sasak yang digunakan sekarang, apakah merupakan percakapan sehari-hari
atau bahasa yang digunakan bagi kalangan elite sudah tidak murni lagi, dengan
kata lain sudah banyak bercampur dengan kata-kata dari luar (kata Indonesia).
Mengetahui dan menguasai ragam seni
tembang dalam upacara sorong serah, seni tembang sangat banyak digunakan,
karena menilai keterampilan seorang Pembayun, diantaranya melalui seni tembang
yang didendangkan, juga dapat mempengaruhi para hadirin yang mendengarnya.
Seorang Pembayun, harus mengetahui bahwa, banyak hadirin yang juga
menguasai bermacam-macam tembang. Oleh karena itu, seorang Pembayun agar
benar-benar menguasai beberpa macam tembang. Namun satu hal yang harus dijaga,
jangan satu tembang dicampur aduk dengan tembang yang lain. Misalnya, tembang Sinom, lalu
ditengahnya dicampur dengan dang dang. Hal ini yang akan membuat
tertawaan orang yang mendengarnya.
Yang sering sekali digunakan oleh para Pembayun dalam mengutarakan
maksudnya pada upacara sorong serah adalah tembang Sinom,
Asmarandana, Dangdang gendis, Pangkur, Durme, Kinanti, Maskumambang dll.
Seorang Pembayun, tidak saja
dituntut untuk memelihara tata tertib ke luar, tetapi juga tata tertib ke dalam
rombongannya sendiri agar terlihat rapi dan sangat berpengaruh bagi orang yang
menerimanya. Sebagaimana dimaklumi bahwa, rombongan sorong serah terdiri dari
20-30 orang. Pembayun memimpin rombongan dengan didampingi seorang atau dua
orang pendamping sebagai penasihat sewaktu-waktu dapat dimintai nasihat oleh
Pembayun.
Untuk Pembayun dan pendampingnya, sedapat mungkin mengenakan pakaian adat
dan dilengkapi dengan keris di belakangnya, yang dapat mempengaruhi pandangan
para hadirin dan penerimanya. Sedangkan bagi para pengikut yang membawa gegawan, supaya
mengenakan pakaian yang rapi pula, lengkap dengan dodot dan leang. Tidak perlu
mahal, tapi kelihatan bersih dan teratur dengan kelengkapan ikat kepala
(sapuq), baju kemeja, kain sarung panjang dan ber-dodot. (Lalu
Pangkat Ali) -01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar